[unpad.ac.id, 20/10/2017] Kata dan musik menjadi dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam jiwa Iwan Abdulrachman, penggubah lagu sekaligus seorang pencinta alam. Dalam perjalanan musikalitasnya, kata-kata bisa menjadi lebih berbunyi bila dilagukan. Sebaliknya, lagu juga bisa lebih berbunyi bila mengandung kata-kata.

Rektor Unpad Periode 2007-2015 Prof. Ganjar Kurnia saat menjadi pembahas dalam diskusi buku “Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman” karya Arie Malangyudo di Grha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Jumat (20/10) siang. (Foto: Tedi Yusup)*
Demikian disampaikan Iwan saat tampil dalam diskusi buku Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman karya Arie Malangyudo di Grha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Jumat (20/10).
Diskusi yang dibuka secara resmi oleh Rektor Unpad Prof. Tri Hanggono Achmad ini menghadirkan pembahas buku Rektor Unpad periode 2007-2015 Prof. Ganjar Kurnia serta Budayawan yang juga akademisi Universitas Pasundan Dr. Hawe Setiawan dengan moderator diskusi Chandra Gautama dari penerbit konten Kompas Gramedia.
Perenungan Iwan terhadap peristiwa dan hal-hal yang berada di alam menghasilkan karya yang bermakna dalam. Media musik dipilih pria kelahiran Sumedang, 3 September 1947 ini karena dinilai lebih cocok merepresentasikan makna perenungannya. Selain itu, Iwan pun sadar bahwa kata-kata yang dirangkainya tidak sebagus para sastrawan.
“Ketika saya hanya membuat kata-kata sedih, orang tentu tidak akan menangkap maknanya. Tetapi ketika dengan musik dan harmoni, orang akan tahu bahwa saya sedang bersedih,” ujar Iwan.
Pertama menggubah lagu di usianya yang ke-17, seniman yang kerap disapa Abah Iwan ini telah banyak menciptakan lagu. Sebanyak 50 lirik lagu karyanya kini telah disimpan pada buku Mentari Sang Kelana yang diterbitkan penerbit konten Gramedia. Dalam buku itu, penulis mengungkap makna dari lirik-lirik lagu tersebut.
Walaupun menganggap kata-kata yang dikarangnya bukan puisi, Iwan membebaskan pendengar menginterpretasi karyanya. Bahkan, ada pula beberapa lirik yang kerap diganti penggunaannya. Yang terpenting, kata-kata itu merupakan ekspresi batinnya, lahir dari sebuah intuisi.
“Kata-kata itu seringkali tetap bisa mewakili makna, tergantung dari itikad kita,” ujarnya.
Hasilkan Penafsiran
Untuk itu, buku ini tidak menjelaskan secara dalam sosok Iwan Abdulrachman, melainkan menafsirkan pemikirannya dalam lirik-lirik yang diciptakan. Prof. Ganjar mengatakan, penafsiran ini merupakan hak bagi setiap orang yang menikmati karya-karya Iwan Abdulrachman.
“Karya sesungguhnya memiliki kekuatannya. Biarkanlah orang-orang berkelana memaknai kata-kata yang terkandung dalam syair yang dibuat,” kata Prof. Ganjar.
Diakui Prof. Ganjar, lirik, lagu, maupun penyampaian Iwan Abdulrachman memiliki nilai magis tersendiri. Pandangan ini datang tatkala Prof. Ganjar mendengar langsung Iwan Abdulrachman bernyanyi. Bagi yang belum pernah menyaksikan langsung, kata-kata yang ditulis Iwan diharapkan memiliki pandangan tersendiri sebagai pengayaan dari peristiwa proses penciptaan lirik.
Berkarya selama lebih dari 40 tahun, Prof. Ganjar menilai Iwan Abdulrachman sebagai sosok yang konsisten. Sering mendekatkan diri ke alam membuat lirik lagu Iwan Abdulrachman banyak berbicara tentang alam. Namun, makna di baliknya berbicara tentang perenungan diri, kecintaan kepada negara, dan kekaguman terhadap Pencipta.
“Dalam perjalanan kepenyairannya, kang Iwan senantiasa konsisten untuk mencintai alam, kebenaran, dan pertebal keimanan, karena yakin Tuhan selalu bersamanya. Dan konsistensi ini sudah terlihat di usia 17 tahun,” papar Prof. Ganjar.






Tidak Terpisahkan
Dipandang secara ilmiah, buku Mentari Sang Kelana mengajak pembaca untuk kembali bermain dengan kata dan irama.
Dr. Hawe berpendapat, bahasa verbal tidak bisa dilepaskan dengan musik. Aksara merupakan visualisasi bunyi. Dengan demikian, menata aksara sama halnya dengan membuat komposisi musik. Membaca 50 lirik lagu yang ada mendorong pembaca untuk mendengar bagaimana lirik tersebut secara musikalitas.
“Buku ini semacam pertemuan dengan narasi Abah Iwan dengan narasi Arie Malangyudo. Sepanjang narasi, juga diperlihatkan serpihan pengalaman Abah sebagai penggubah lirik. Dan di ujungnya, buku ini memberikan aforasi mengenai hidup, alam, persahabatan, dan sebagainya,” kata Dr. Hawe.*
Laporan oleh Arief Maulana
The post Mentari Sang Kelana: Secuil Pemaknaan Atas Karya Iwan Abdulrachman appeared first on Universitas Padjadjaran.