Laporan oleh Arif Maulana
[unpad.ac.id, 20/7/2020] Pandemi Covid-19 tidak hanya menghabiskan banyak biaya untuk penanganan penderita saja. Biaya untuk menangani masyarakat yang terdampak secara mental akibat pandemi Covid-19 juga cukup besar.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar melakukan penelitian mengenai monitoring dampak pandemi Covid-19 berdasarkan tren gejala depresif dan perilaku pada masyarakat. Pemetaan ini salah satunya bertujuan untuk menghitung berapa estimasi biaya gejala depresi yang terjadi pada kelompok masyarakat.
(baca juga: Pandemi Covid-19 Belum Juga Usai, Stres Harus Tetap Dicegah)
Penelitian ini dilakukan bersama peneliti dari Pusat Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB Unpad, Fakultas Kedokteran, Fakultas Psikologi, dan Klinik Kesehatan Unpad. Berdasarkan kuesioner yang disebar, ada sejumlah kelompok yang sudah dipetakan, antara lain: mahasiswa, wartawan, tenaga kesehatan, serta dosen dan tenaga kependidikan.
“Kami tidak memetakan apakah seseorang itu depresi atau tidak, tetapi apakah ada gejala depresi atau tidak,” kata Adiatma beberapa waktu lalu.
Penelitian ini menggunakan instrumen Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CESD)-10 dengan 10 item pertanyaan seputar kondisi psikis responden. Sebanyak 1.465 responden kelompok mahasiswa, 563 responden tenaga kesehatan, dan 98 responden wartawan dari berbagai wilayah di Indonesia berhasil terjaring dalam penelitian ini.
Hasilnya, sebanyak 47% responden mahasiswa mengalami gejala depresi, 45% responden wartawan mengalami gejala depresi, dan sekitar 28% responden tenaga kesehatan mengalami gejala depresi.
(baca juga: Peneliti Hipnosis Unpad Kembangkan Media Audio Visual untuk Kurangi Stres Akibat Coronavirus)
Mahasiswa
Adiatma menjelaskan, pada kelompok mahasiswa, hampir 51,16% mahasiswa merasa pesimistis dan 42,98% mahasiswa merasa khawatir terhadap pandemi Covid-19. Selain itu, hampir 60% mahasiswa merasa media sosial mengakibatkan kecemasan.
“Alhamdulillah, dalam respons menghadapi pandemi, sebagian besar mahasiswa melakukan praktik pembatasan sosial dan pembatasan fisik. Mereka sudah cukup paham,” ujar Adiatma.
Gejala depresif pada mahasiswa terjadi karena adanya pembatasan fisik serta didorong oleh sikap khawatir dan pesimitis. Adiatma menjelaskan, walau sebagian besar mahasiswa paham mengenai pembatasan sosial dan fisik, penerapannya justru kurang dilakukan.
(baca juga: Stres Hadapi Coronavirus Picu Turunnya Imunitas Tubuh)
“Sangat bisa dimengerti, karena mahasiswa masih energetik dan sering berekspresi di luar tempat tinggalnya,” tambahnya.
Angka persentase ini kemudian dihitung estimasi biaya depresi akibat Pandemi Covid-19. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan literatur yang sudah ada. Berdasarkan literatur tersebut, dari 47% responden mahasiswa yang memiliki gejala depresif, diperoleh angka 49,1% yang memiliki kemungkinan terjadi depresi.
Jika dihitung, dari 1.465 sampel maka diperoleh 338 jiwa yang berisiko mengalami depresi. Adiatma menyebut, berdasarkan analisis literatur, biaya depresi per orang sebesar Rp 8.3 juta. Artinya, jika dikali 338 orang, maka total biaya depresinya mencapai Rp 2,8 Miliar.
“Ini adalah biaya per tahun. Jika dalam setahun (pandemi) tidak beres, biaya akan bertambah,” kata Adiatma.
Wartawan
Kelompok wartawan menurut Adiatma memiliki persentase gejala depresif sebanyak 45,92%. Wartawan yang masih keluar rumah untuk meliput berita berpeluang lebih banyak memiliki gejala depresif ketimbang wartawan yang tidak keluar rumah.
Analisis statistika menunjukkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan munculnya gejala depresi pada wartawan. Faktor ini berbeda dengan apa yang muncul pada mahasiswa. Salah satu faktor yang muncul adalah terkait status pegawai seorang wartawan.
(baca juga: Rektor Resmikan Pusat Konseling Unpad)
“Orang sebagai wartawan tetap jauh lebih aman ketimbang wartawan tidak tetap/kontributor dari sisi finansial. Hal ini yang menjadi salah satu kemungkinan munculnya gejala depresif pada wartawan,” jelasnya.
Jika dihitung estimasi biaya depresinya menggunakan metode dan literatur yang sama dengan kelompok mahasiswa, maka dari 98 responden wartawan, terdapat 22 responden yang berisiko mengalami kemungkinan terjadi depresi. Bila dikalkulasikan dengan biaya depresi per orang, total biaya depresi mencapai Rp 183 juta/tahun.
Tenaga Kesehatan
Persentase responden tenaga kesehatan (nakes) yang memiliki gejala depresif pada penelitian tersebut sebesar 28%. Hal ini jauh lebih rendah daripada persentase kelompok mahasiswa maupun wartawan.
(baca juga: Unpad Buka Layanan Konsultasi Psikologi Berbasis Daring)
“Mungkin rendahnya persentase ini karena tenaga kesehatan by training lebih siap menghadapi situasi seperti ini,” kata Adiatma.
Adiatma memaparkan, nakes yang pernah kontak dan menangani pasien Covid memiliki peluang 1,84 kali mengalami gejala depresif. Sebagai profesi yang berada di garda depan penanganan Covid, kemungkinan mengalami gejala depresif terhadap nakes cukup tinggi.
Apabila dikalkulasikan estimasi biaya depresinya dengan formula yang sama, total biaya depresi untuk nakes mencapai Rp 647 juta/tahun. Berdasarkan 563 sampel nakes, 77 orang berisiko mengalami kemungkinan depresi.*
Presentasi mengenai riset ini bisa dilihat pada tautan berikut.
The post Berapa Estimasi Biaya Depresi Akibat Pandemi Covid-19? appeared first on Universitas Padjadjaran.